

Untuk generasi sekarang, nama Black Brothers mungkin bukanlah sesuatu yang langsung dikenali, namun band ini merupakan salah satu ikon musik Indonesia di era 1970-an. Lagu-lagu mereka seperti Kisah Seorang Pramuria, Hari Kiamat, dan Sajojo masih sering didengar dan memiliki tempat khusus di hati penggemar musik. Berasal dari Jayapura, Papua, dengan nama awal Los Iriantos Primitive, mereka mengambil langkah besar dengan pindah ke Jakarta pada tahun 1976 untuk mengejar impian mereka di industri musik. Di bawah bimbingan Andy Ayamiseba, seorang pengusaha keturunan Cina-Papua, dan berkolaborasi dengan Nyo Beng Seng dari label Irama Tara, mereka berhasil merilis delapan album dan satu album Natal antara tahun 1976 sampai 1979.

Pada tahun 1977, Black Brothers mencapai puncak kesuksesan dengan meraih Golden Record dan terpilih sebagai salah satu dari tiga band teratas di Indonesia oleh majalah ternama seperti Femina, Gadis, Intisari, dan Aktuil. Mereka juga sukses mengadakan konser di berbagai kota besar di Indonesia, menarik ribuan penonton dan berdiri sejajar dengan nama-nama besar seperti d’Mercys, Panbers, Koes Ploes, SAS, dan God Bless.

Komposisi anggota asli yang memberikan nuansa musikal unik terdiri dari Hengky Mirontoneng Sumanti, Yochie Pattipeiluhu, Benny Bethay, Stevie Mambor, David Rumagesang, dan Amri Kahar. Kemudian, Agust Rumaropen dan Sandi Bethay bergabung mengisi kekosongan yang ditinggalkan Hengky dan David pada dua album terakhir. Meski terkenal dengan aliran pop rock, latar belakang para personel sebagai musisi dan entertainer di kafe atau klub malam, baik di Papua maupun Jakarta, memberikan Black Brothers kemampuan unik dalam mengeksplorasi berbagai genre musik. Dari lagu-lagu slow pop yang mellow seperti Kisah Seorang Pramuria, hingga funk rock yang energik dalam lagu berbahasa Papua seperti Huembello dan Samandoye. Mereka juga bereksperimen dengan musik keroncong dalam Keroncong Irian Jaya, Keroncong Kenangan, dan Gunung Siklop, serta menampilkan irama disco dan jazz. Infusi unsur reggae ke dalam beberapa karya mereka menjadi salah satu daya tarik tersendiri.
Di tahun 1979, sebagian besar anggota, termasuk manajer mereka, memilih untuk merantau dan menetap di luar negeri. Andy Ayamiseba menetap di Vanuatu, Benny, Stevie, dan Agust di Australia, sedangkan Hengky, Yochie, dan Amri di Belanda. Hanya David dan Sandy yang memilih untuk tetap di Indonesia. Dekade berlalu, dan kini hanya Yochie, Benny, dan Amri yang tersisa dari formasi awal. Frans Pigome, sebagai manajer band yang baru, kini membawa angin segar dalam upaya mempertahankan dan mengembangkan legenda Black Brothers di panggung musik Indonesia.


